Beberapa
waktu lalu saya sempat berkunjung ke rumah salah satu keluarga di
Tanjung . Priuk. Saat jalan-jalan pagi, sambil menghirup udara yang
sudah tercemar aroma got, saya melihat-lihat dan membaca banner, pamphlet, spanduk dan papan-papan iklan yang ada di sepanjang jalan Swasembada barat, Tanjung Priuk. Yang saya lalui. Mata saya akhirnya terpaku pada sebuah tulisan di kaca sebuah rumah “Kursus membaca dan menulis bagi anak usia 3-8 tahun, dijamin 20 hari lancar”.
Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik terhadap tulisan itu:
Pertama,
Kursus membaca itu ditujukan bagi anak usia 3-8 tahun, bagi anak yang
sudah berusia 8 tahun, jika belum juga bisa membaca saya anggap lumrah
jika harus mengikuti kursus tersebut, paling tidak menjadi bentuk
dukungan orang tua dalam meringankan tugas guru di sekolah dengan asumsi
orang tua tidak memiliki waktu membimbingnya sendiri di rumah.
Bagi anak usia di bawah 5 tahun, saya
pikir ini sangat berlebihan. Mengajarkan membaca dan menulis di TK saja
sudah merupakan malpraktek bagi seorang guru. Anak usia PAUD/TK belum
saatnya dijejali dengan hal-hal yang sulit, sekolah bagi mereka hanya
untuk mempersiapkan memasuki
usia belajar yang sesungguh di SD. Anak boleh diperkenalkan kepada
huruf/angka tapi tetap dalam konteks bermain. Bukan belajar dengan
banyak PR yang merenggut kesempatan mereka bermain. Apalagi sampai harus
diikutkan kursus, jangan sampai anak-anak mungil ini menjadi korban ego
orang tua yang ingin bersombong ria saat bercerita kepada kawan-kawan
arisan atau komunitasnya bahwa anaknya baru 4 tahun sudah lancar
membaca.
Pandangan
saya tentang pengajaran membaca yang serius di tingkat PAUD/TK pernah
saya diskusikan dengan beberapa kawan yang kebetulan mengajar di tingkat
ini, jawaban kawan-kawan saya umumnya “Karena tuntutan pasar (orang tua
murid)”, menurut mereka orang tua selalu membandingkan dengan anak
temannya yang sekolah di TK/PAUD lain dan sudah bisa membaca, sehingga
terkesan menganggap guru-guru yang tidak mengajarkan membaca adalah
guru-guru yang gagal yang tidak berhasil membuat anaknya pintar. Resiko
yang lebih berat lagi TK/PAUD yang tidak mengajarkan membaca tidak akan mendapatkan murid.
Alasan lain TK/PAUD menyelenggarakan pengajaran membaca karena adanya beberapa SD yang mengadakan seleksi masuk dan
materi tesnya adalah membaca/menulis/berhitung. Artinya, hanya
anak-anak yang sudah pandai membaca/menulis/berhitunglah yang akan
diterima di SD tersebut. Semakin banyak lulusan sebuah TK yang diterima
di SD tersebut maka akan semakin dipandang hebat TK tersebut.
Seleksi
masuk Sekolah Dasar seharusnya bukan berdasarkan bisa atau tidaknya
seorang anak membaca/menulis/berhitung karena tugas guru kelas rendahlah
(1-3 SD) membuat mereka bisa membaca/menulis. Salah satu standar
kompetensi kelas 1 SD dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia tentang
membaca adalah Membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat (masih tentang membaca suku kata ) dan tentang menulis Menjiplak berbagai bentuk gambar dan bentuk huruf, Menebalkan berbagai bentuk gambar dan bentuk huruf (masih
menjiplak!!!) jadi untuk apa seleksi membaca dan menulis juga berhitung
pada penerimaan murid kelas 1 SD? Maaf jika saya jadi curiga, alasannya
karena guru malas (baca tidak tahu cara) mengajarkan membaca/menulis awal pada bocah-bocah kecil itu.
Persoalan yang sebenarnya butuh penanganan segera adalah jika anak sudah kelas 3 SD masih juga belum bisa membaca.
Anak-anak
ini butuh perhatian khusus. Pengetahuan apa yang dapat mereka pelajari
jika mereka belum bisa membaca, padahal pembelajaran yang dilakukan guru
saat ini menggunakan berbagai variasi model pembelajaran yang umumnya
tidak terlalu banyak berceramah. Peserta didik harus aktif menggali
pengetahuan melalui membaca, berdiskusi, bereksperimen dan lain-lain
yang membutuhkan kemampuan membaca yang baik.
Membaca merupakan salah satu kompetensi
dasar yang harus dikuasai peserta didik sebagai modal awal untuk
melakukan kegiatan pembelajaran selanjutnya. Keterampilan membaca harus
sudah dikuasai peserta didik paling lambat ketika mereka sudah duduk di
kelas 2 SD, atau setelat-telatnya kelas 3 SD. Siswa yang sudah duduk di
jenjang kelas 4 SD, jika belum juga
mampu membaca harus segera ditangani, misalnya dengan mengikutkan
kursus membaca atau bimbingan khusus di sekolah. Kerja sama orang tua
dan pihak sekolah sangat diperlukan untuk mengatasi hal ini. Membiarkan
saja anak-anak ini tanpa penanganan adalah kesalahan besar.
Lain halnya dengan anak-anak usia dini yang perlu diberi ruang ekspresi lebih
luas. Pengajaran terhadap mereka harus dilakukan secara alamiah, tidak
perlu membebani mereka dengan muatan-muatan yang terlalu berat. Belajar
membaca/menulis/berhitung bagi mereka baru berupa pengenalan awal saja
dan itupun disampaikan dalam kegiatan bermain.
Mari kita ubah paradigma berpikir kita tentang anak hebat, tentang TK/PAUD hebat,
dan tentang SD hebat. Kurikulum sudah mengaturnya sedemikian rupa
dengan mempertimbangkan berbagai aspek. Jangan berikan pada anak-anak
kita beban berat hanya demi gengsi orang tuanya.
Salam Pendidikan…
Sumber: Kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar